Semangat Pagi,
Beberapa hari yang lalu, saya membuka email-email lama. Disitu ada salah
satu email forwad dari pemimpin di perusahaan lama tempat saya bekerja. Isinya
sangat menarik, menyoal keterbatasan dalam hidup ditengah upayanya menggapai
mimpi. Keterbatasan, nampaknya selalu menjadi pasangan yang selalu mengiringi ‘para
pemimpi’. Setiap kita membaca biografi orang-orang sukses di baliknya ada saja
kisah perjuangan heroic melawan keterbatasan.
Setiap kesuksesan memang selalu membutuhkan
perjuangan. Seorang juara lompat galah, adalah mereka yang mampu melewati setiap centimeter level halangan. Sang juara ditentukan berdasarkan pada kemampuan melewati papan rintangan tertinggi.
perjuangan. Seorang juara lompat galah, adalah mereka yang mampu melewati setiap centimeter level halangan. Sang juara ditentukan berdasarkan pada kemampuan melewati papan rintangan tertinggi.
Orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang mampu melewati
setiap rintangan hingga pada level rintangan tertinggi. Seperti halnya kisah sukses Handry Satriago si
CEO General Electric (GE) yang dituangkannya dalam sepucuk surat untuk
pemimpin-pemimpin muda masa depan. Isi surat itu adalah:
“Saat saya menulis surat ini kepada Anda, dunia yang saya huni
ini mampu membuat 112 buah mobil dalam 1 menit, menerbangkan orang non-stop dari Singapura ke New York
dalam 18 jam, dan menghasilkan produk “Made in The World” seperti celana jeans yg saya pakai sekarang.
Karena,
walaupun saya beli di Bandung dan berlabelkan “Made in Indonesia”,
celana ini melibatkan lebih dari 15 negara dalam value chain pembuatannya.
Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang
mampu mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0.23 detik untuk pencarian kata “leadership”,
saya membayangkan keterbatasan mencari pengatahuan yg dihadapi ayah saya, saat
mimpinya untuk sekolah sirna karena perang yang berkecamuk.
Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani
mendobrak keterbatasannya dengan merantau dan berjibaku untuk survive di berbagai kota di Sumatera
hingga akhirnya sampai di Jakarta, Tidakkah dia takut dengan keterbatasannya? Usianya
baru 15 tahun saat itu, dan hidup tidak berjalan seperti yang dia inginkan.
Saya juga terkenang dengan peristiwa mengerikan yang saya hadapi
sendiri pada tahun 1987, ketika saya tiba-tiba divonis menderita kanker lymphoma non-hodkin- kanker kelenjar getah
bening, yang tumbuh di medulla
spinalis saya
dan merusaknya sedemikian rupa sampai saya kehilangan kemampuan untuk berjalan.
Bulan-bulan yang melelahkan karena harus berobat ke sana ke mari, dan akhirnya
berujung kepada keharusan menjalankan hidup dengan menggunakan kursi roda. Saya
ingat betul betapa takutnya saya untuk menjalani hidup saat itu.
Keterbatasan menghadang di banyak hal. Usia saya baru 17 tahun
waktu itu, dan hidup berjalan jauh dari yang saya harapkan. Apa yang bisa
dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma menjadi
tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus dilontarkan
kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan terus mundur?
Saya, dan mungkin juga ayah saya waktu itu, memulainya dengan menerima
kenyataan. Menerima bahwa jalan tidak lagi mulus, bahwa lapangan pertempuran
saya jelek, dan amunisi saya tidak lengkap.
“Reality
bites” kata
orang. Betul itu. Tapi menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampu
menyusun strategi baru. Menghindarinya atau lari darinya justru membuat kita
terlena mengasihani diri kita terusmenerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk
dapat melawan balik.
Kemudian saya mengumpulkan kembali puing-puing mimpi saya.
Tidak! Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan, bahkan
dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan
melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan, tapi tidak akan
hilang. Dengan usaha keras, kita bisa menyusunnya kembali, dan ketika mimpi
telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberikan cahaya terhadap
pilihan jalan yang akan ditempuh untuk
mewujudkannya.
Dua puluh enam tahun menjalani kehidupan dengan kursi roda
membuat saya semakin yakin bahwa Yang Maha Kuasa memang telah menciptakan kita
untuk menjadi makhluk yang paling tinggi kemampuan survival nya di muka bumi ini. Kita
diberikan rasa takut, yang merupakan mekanisme primitif yang dimiliki organisme untuk survive, yaitu keinginan untuk lari dari
ancaman, atau… melawannya!.
Ketika pilihannya adalah melawan, maka perangkat
perang telah disiapkanNya untuk kita. Perangkat itu terwujud dalam kemampuan bouncing back—daya pantul, yang jika digunakan
mampu membuat kita memantul tinggi ketika kita dihempaskan ke tanah. Kitalah
yang bisa membuat daya pantul itu bekerja. Jika kita tak ingin melawan,
perangkat perang tersebut bahkan tidak akan hadir.
Berpuluh kali, atau beratus kali atau mungkin beribu kali saya
diserang rasa takut ketika menjalani kehidupan dengan kursi roda ini. Ketika membuat
pilihan kembali ke sekolah, ketika menyeret kaki untuk menaiki tangga bioskop
agar bisa menemani wanita pujaan menonton, ketika memutuskan untuk kuliah,
ketika menghadapi 4 lantai untuk bisa praktikum kuliah, ketika harus menjalani
kemoterapi, ketika memulai bekerja, ketika naik pesawat, ketika akhirnya bisa
ke luar negeri, ketika melamar calon istri, ketika mulai bekerja di GE yang
penuh dengan orang asing, ketika menerima tawaran untuk mempimpin GE di
Indonesia….Saya takut. Tembok besar berdiri tegak, angkuh, dan ribuan panah
berapi menghujami saya.
Namun seiring dengan rasa takut yang timbul tersebut, mimpi saya
untuk dapat menjalankan dan menikmati hidup menerangi jalan yang ingin saya tempuh.
Dan ketika perangkat perang—semangat untuk memantul, saya gunakan, saya seakan
menjelma menjadi jenderal yang siap perang, yang didukung oleh ribuan pasukan—keluarga, teman, bahkan orang yang
tak dikenal, yang tiba-tiba hadir karena mereka percaya terhadap keyakinan saya.
Saya maju berperang, dengan keyakinan bahwa peperanganlah yang
harus saya jalani, saya nikmati. Hasil peperangan sendiri tidaklah terlalu
penting, karena kalaupun kalah, toh saya akan berperang lagi. Kalau mati, saya akan mengakhiri perang dengan senyum, karena
saya tahu saya telah berjuang dengan sebaik-baiknya. Sang Pencipta lah yang pada
akhirnya memilihkan hasil dari perjuangan kita.
Menjadi pemimpin bermula dari memimpin diri sendiri. Mewujudkan mimpi
yang ingin dicapai. Tidak perlu membayar orang untuk menjadi pengikut. Jika
mereka melihat anda dengan penuh keyakinan berani mempimpin diri anda sendiri, mereka akan mengikuti dan membantu
anda dengan tulus, serta percaya pada kepemimpinan anda. Saat saya menulis
surat ini kepada Anda, dunia tempat saya hidup sekarang ini menghasilkan pendapatan kotor setahun $70 triliun.
Sekitar 40% dari pendapatan dunia tersebut dihasilkan oleh 500 korporasi terbesar
dunia, dan tidak ada satu pun yang berasal dari negara kita (133 dari Amerika
Serikat, 79 dari China, 8 dari India). Terdapat sekurangnya
136 negara yang berkompetisi di dunia ini untuk mendapatkan keuntungan
terbanyak dari proses ekonomi global, dan daya saing Indonesia terukur pada
ranking 46. Singkat kata, kita masih belum menjadi pemeran utama di panggung dunia yang tak berhenti mengglobal.
Pekerjaan rumah anda sebagai pemimpin Indonesia tidaklah mudah. Tidak
berarti, tembok besar dan ribuan panah api bisa menghentikan langkah anda untuk
berperang”
Semoga, apapun keterbatasan yang kita miliki bukan menjadi ‘mesin
pembunuh’ impian kita. Sebaliknya, kita semakin yakin bahwasanya dibalik keterbatasan, Tuhan telah membekali kita berbagai kelebihan